Mengapa Inflasi Rendah Membatasi Ruang Gerak BI dan Bagaimana Pemerintah Bisa Mengatasi Deflasi dalam Negeri?
Mengapa Inflasi Rendah Membatasi Ruang Gerak BI dan Bagaimana Pemerintah Bisa Mengatasi Deflasi dalam Negeri?
Inflasi rendah sering dianggap sebagai indikator positif karena menunjukkan kestabilan harga barang dan jasa di pasar. Namun, di tengah situasi ekonomi global yang tidak menentu seperti saat ini, inflasi rendah justru menjadi dilema bagi pemerintah dan Bank Indonesia (BI).
Di satu sisi, inflasi rendah seharusnya memberi ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga agar mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, tekanan nilai tukar akibat tingginya suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) dan risiko capital outflow (arus keluar modal asing) membatasi langkah tersebut.
Lebih rumit lagi, dominasi sektor informal dan kebijakan subsidi yang tidak tepat sasaran memperburuk daya beli masyarakat, sehingga deflasi domestik semakin terasa. Artikel ini akan membahas dilema yang dihadapi BI, masalah struktural dalam perekonomian, dan strategi yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi deflasi dalam negeri.
Inflasi Rendah vs Stabilitas Makroekonomi
Saat inflasi rendah, BI sebenarnya memiliki peluang untuk menurunkan suku bunga acuan (BI Rate). Suku bunga yang rendah akan mendorong masyarakat dan dunia usaha untuk meminjam uang, meningkatkan konsumsi, dan investasi.
Namun, pada 2024-2025, BI terjepit dalam dilema besar:
- Jika suku bunga diturunkan, rupiah berisiko melemah karena suku bunga AS yang masih tinggi membuat investor asing lebih memilih menempatkan uang di negara maju. Ini akan memicu capital outflow dan memperburuk stabilitas makroekonomi.
- Jika suku bunga tetap tinggi, pertumbuhan ekonomi melambat karena masyarakat dan dunia usaha memilih menahan konsumsi dan investasi. Akibatnya, daya beli masyarakat semakin turun, terutama bagi kelompok rentan seperti pekerja sektor informal.
Dilema ini membuat BI lebih memilih menjaga stabilitas makroekonomi dengan mempertahankan suku bunga tinggi, meskipun itu berarti mengorbankan pertumbuhan ekonomi jangka pendek.
Dominasi Sektor Informal dan Masalah Lapangan Kerja
Masalah besar lain dalam perekonomian Indonesia adalah dominasi sektor informal yang mencapai lebih dari 58% dari total tenaga kerja (BPS, 2023).
Mayoritas sektor informal terdiri dari:
- Pedagang kecil
- Pekerja lepas
- Tukang ojek online
- Buruh harian
Ciri khas sektor ini adalah:
- Upah tidak pasti
- Produktivitas rendah
- Tidak ada jaminan sosial
Akibatnya, daya beli masyarakat kelompok ini sangat terbatas. Mereka hanya mampu memenuhi kebutuhan pokok dan tidak memiliki sisa uang untuk konsumsi barang non-pokok. Kondisi ini memperburuk ketimpangan sosial dan mempersempit basis pajak pemerintah.
Semakin kecil masyarakat yang mampu membayar pajak, semakin kecil pula ruang fiskal pemerintah untuk melakukan kebijakan stimulus ekonomi.
Kebijakan Subsidi yang Tidak Tepat Sasaran
Pemerintah seharusnya melindungi masyarakat miskin dari dampak kenaikan harga melalui kebijakan subsidi. Sayangnya, banyak program subsidi yang tidak tepat sasaran atau justru dikorupsi di rantai distribusi.
Contohnya:
- LPG 3 Kg bersubsidi yang seharusnya hanya untuk masyarakat miskin, justru banyak digunakan oleh restoran atau pelaku usaha menengah.
- Subsidi pupuk yang kerap bocor ke petani kaya atau tengkulak.
Akibatnya, masyarakat miskin terpaksa membeli barang kebutuhan pokok dengan harga non-subsidi yang jauh lebih mahal. Hal ini menciptakan inflasi riil di level akar rumput, meskipun secara agregat angka inflasi nasional tetap rendah.
Kondisi ini memperburuk deflasi domestik karena daya beli masyarakat semakin tergerus.
Ironi: Orang Kaya Boros di Luar Negeri, Rakyat Miskin Mengencangkan Ikat Pinggang
Dalam teori ekonomi, konsumsi adalah motor penggerak perekonomian. Kita membutuhkan lebih banyak orang boros yang suka berbelanja agar roda ekonomi terus berputar.
Namun, untuk menjadi boros, masyarakat harus memiliki pendapatan besar. Sayangnya, kekayaan di Indonesia saat ini lebih banyak terkonsentrasi pada kelompok elite seperti:
- Pejabat
- Koruptor
- Pengusaha besar
Masalahnya, mereka yang punya uang justru lebih suka membelanjakan uang di luar negeri untuk:
- Liburan ke Eropa
- Belanja barang branded di Singapura
- Investasi properti di Dubai
Sementara rakyat kecil hanya bisa merogoh kantong untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti beras, LPG, dan listrik.
Aliran uang yang seharusnya menjadi konsumsi domestik malah keluar ke luar negeri, sehingga ekonomi dalam negeri semakin lesu.
ASN Kena Rem Anggaran: Belanja Turun, Ekonomi Melambat
Salah satu penggerak konsumsi terbesar di Indonesia adalah belanja aparatur sipil negara (ASN). Namun, belakangan ini pemerintah memperketat anggaran perjalanan dinas, rapat, dan operasional pemerintahan.
Akibatnya:
- ASN yang sebelumnya bisa spending dari sisa perjadin, sekarang hanya bergantung pada gaji dan tukin yang tidak seberapa.
- Pengeluaran ASN untuk konsumsi barang dan jasa lokal turun drastis.
Padahal, belanja ASN sangat penting untuk menghidupkan sektor usaha mikro seperti warung makan, penginapan, dan jasa transportasi.
Cara Pemerintah Mengatasi Deflasi dalam Negeri
Untuk mengatasi deflasi domestik dan mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah harus menjalankan kebijakan terintegrasi di bidang moneter, fiskal, dan struktural.
1. Penurunan Suku Bunga Bertahap
BI bisa menurunkan suku bunga secara bertahap untuk mendorong konsumsi domestik, tetapi dengan tetap menjaga intervensi di pasar valuta asing agar rupiah tidak melemah secara tajam.
2. Program BLT yang Tepat Sasaran
Memperbaiki data penerima bantuan sosial agar hanya masyarakat miskin yang benar-benar menerima manfaat.
3. Relaksasi Pajak untuk Kelas Menengah Bawah
Memberikan insentif pajak bagi UMKM dan pekerja informal agar daya beli kelompok ini meningkat.
4. Meningkatkan Upah Minimum
Mendorong kenaikan upah minimum regional yang sejalan dengan inflasi riil di tingkat masyarakat bawah.
5. Revolusi Data Digital
Menggunakan teknologi digital untuk memantau distribusi subsidi agar tidak bocor.
6. Mendorong Pariwisata Domestik
Membuat kebijakan diskon tiket pesawat dan hotel agar masyarakat kaya lebih memilih liburan di dalam negeri.
Kesimpulan
Inflasi rendah seharusnya menjadi peluang bagi BI untuk menurunkan suku bunga, namun tekanan global dan risiko capital outflow membuat ruang gerak BI semakin sempit.
Masalah ini diperburuk oleh dominasi sektor informal, ketimpangan pendapatan, dan kebijakan subsidi yang tidak tepat sasaran.
Pemerintah harus segera memperbaiki distribusi bantuan sosial, mendorong konsumsi masyarakat kelas menengah, dan memastikan belanja ASN bisa kembali berjalan normal.
Jika tidak, deflasi dalam negeri akan memperburuk daya beli masyarakat dan memperlambat pemulihan ekonomi jangka panjang.
Keyword :
Inflasi Rendah, Deflasi, Bank Indonesia, Suku Bunga, Capital Outflow, Ekonomi Indonesia, Konsumsi Masyarakat, Sektor Informal, BLT, Upah Minimum.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung ya ^_^