The Art of Unteaching, Cara Mengajar Disiplin, Mandiri dan Eksplorasi Tugas Sekolah Anak-anak di Jepang
The Art of Unteaching, Seni Mengajar Anak-anak di Jepang
Masyarakat Indonesia menempuh jalur pendidikan formal selama 12 tahun. Sejak sekolah dasar 6 tahun, dilanjut sekolah menengah pertama 3 tahun, dan 3 tahun di sekolah menengah umum.
Sama halnya dengan di negara Jepang yang juga menetapkan jenjang pendidikan yang sama yaitu 12 tahun.
Bedanya, ada pada metode pembelajaran di Jepang yang lebih mengedepankan proses belajar anak yaitu sistem diskusi pada tim.
Budaya Jepang yang disiplin ikut mempengaruhi proses belajar ketika guru memberi arahan pada anak, maka anak akan mencari solusi dari masalah yang diberikan oleh guru.
Anak-anak akan disiplin mengerjakan tugas yang diberikan, sedangkan guru tidak banyak bicara atau menginterupsi apa yang dilakukan anak-anak.
Tujuan pemberian kebebasan dalam menyelesaikan tugas belajar anak ini adalah agar anak bisa menjadi problem solving, anak tidak diatur harus bagaimana menemukan jawaban dari masalahnya. Anak hanya dipandu saja.
Ya, selebihnya, kreativitasnya lah yang akan menjadi pembeda, di mana anak akan menemukan lebih banyak variasi solusi dari masalah yang diberikan guru tersebut.
Seperti yang dikatakan dosen Matematika Unnes pak Ardhi Prabowo yang mengatakan bahwa ia tertarik dengan metode belajar yang lebih mengedepankan proses belajar anak, dan mengurangi interupsi guru.
Saya pernah belajar CLIL di Bali. Salah satu prinsipnya adalah mengurangi TTT atau Teacher Talking Time dan menambah STT atau Student Talking Time.
Student Talking Time ini bermanfaat agar anak bisa belajar dari teman sebayanya dan bisa berdiskusi untuk menyelesaikan tugas, baik secara kelompok maupun individu.
The Art of Unteaching, Cara Mengajar Murid oleh Guru Tanpa Banyak Interupsi
Prof. Sutarto Hadi, Guru Besar Pendidikan Matematika Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin dalam tulisan di facebook berjudul "Guru Jangan Banyak Omong" mengatakan bahwa:
Kebalikan dengan kebanyakan guru Indonesia, guru di Jepang ternyata tidak banyak omong dan tidak banyak mengatur. Hebatnya mereka bisa menahan diri untuk "tidak menggurui". Mungkin ini yang disebut oleh guru saya di Belanda Prof. Jan de Lange sebagai "the art of unteaching". Ya, sebuah seni "tidak mengajar".
Lha, maksudnya apa, guru tidak mengajar?
Anak-anak di Jepang dilatih sejak usia dini untuk menjadi pemecah masalah (problem solver). Itu bisa terbentuk karena cara mengajar guru yang mendorong anak berkolaborasi, berdiskusi, kerja kelompok, dan menyelesaikan masalah melalui hands on activity.
Jadi, guru tidak ngomong sama sekali? Tentu saja tidak. Hanya diawal pelajaran guru menjelaskan masalah yang harus diselesaikan siswa. Selebihnya dia akan irit bicara dan menahan diri untuk tidak memberi solusi atas masalah yang dia ajukan. Siswa-siswa benar-benar diberikan kesempatan untuk berpikir dan bereksplorasi.
Sistem Disiplin dalam Kelompok pada Anak Didik di Jepang Juga Melatih Kemandirian Anak
Saya rasa, berbeda dengan sistem pengajaran di negara lain, di Jepang sistem diskusi kelompok ini juga terbentuk karena mereka terbiasa dididik untuk berkelompok.
Pasalnya, ada juga aturan tentang anak sekolah yang harus berangkat dan pulang dengan teman yang sejalur jalan pulang ke rumahnya.
Kemandirian anak-anak Jepang ini sudah terpupuk sejak dini dengan cara memberi tugas sederhana pada anak di usia 2 - 3 tahun.
Sebagian besar tugas ini berkaitan dengan kebersihan lingkungan di rumah, seperti membersihkan atau membuang sampah kecil.
Bahkan, anak-anak Jepang juga berjalan menelusuri sudut-sudut kota sendirian atau bergandengan tangan bersama teman sebayanya.
Anak-anak Jepang pergi secara mandiri sambil membawa bekal bendera warna kuning yang bertuliskan tomaru (止まる, berhenti).
Jika anak-anak melambaikan bendera kuningnya, mereka pun bisa menyeberangi jalan penyebrangan secara berkelompok tanpa khawatir tertabrak kendaraan yang lalu lalang di jalanan.
Penekanan yang kuat pada kemandirian anak Jepang juga semakin terasa ketika mereka menginjak usia enam tahun.
Ada pula peribahasa Jepang yang berbunyi : "kawaii ko ni wa tabi o saseyo” (可愛い子には旅をさせよ).
japan kids (docs : alamy) |
Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, artinya adalah "kirim anak tercinta dalam perjalanan”.
Peribahasa Jepang ini bermakna setiap orangtua tidak perlu merasa over protective terhadap anak-anaknya dan biarkan anak belajar mandiri sejak usia muda.
Anak Jepang menyeberang jalan raya (doc : alamy.com) |
Self Driving : Belajar Bereksplorasi Untuk Meraih Impian
Prof. Rhenald Khasali, Guru Besar UI pernah bilang bahwa kita harus punya self driving. Di mana self driving ini akan mengantarkan kita pada kesuksesan.
Ada benang merah dari semua tokoh-tokoh besar dunia yang sukses yaitu mereka memiliki cara lain dalam menggapai mimpi, yang kerap disebut self driving.
Self driving pada dasarnya adalah berpikir. Ternyata di dunia ini hanya 2 persen populasi yang mau berpikir. Mau berpikir artinya mau susah, bukan hanya mengerjakan yang gampang-gampang, mau bereksplorasi.
Menurut saya, self driving ini juga yang biasa diterapkan anak-anak Jepang. Di mana mereka bereksplorasi menyelesaikan tugas yang sulit, dengan disiplin dan kemandirian.
Intinya, metode pendidikan di Jepang yang menekankan pada disiplin, kemandirian dan unteach learning atau tidak banyak interupsi saat mengajar ini memang dimulai bahkan sejak mereka masih sangat kecil, di bawah usia 6 tahun sebelum anak masuk sekolah.
Anak mandiri sejak kecil (doc : sonora.id) |
Jadi, upaya guru untuk mendorong anak-anak lebih mandiri menyelesaikan tugas adalah lanjutan dari proses belajar kemandirian yang sudah diajarkan orang tua mereka sebelumnya.
Tanpa budaya kemandirian dan disiplin agak sulit untuk menerapkan metode belajar seperti di Jepang ini, karena bagaimana pun juga guru harus belajar tidak menginterupsi tugas.
Selain itu, peran orang tua yang harus tega untuk melepas anak-anak menjalani pendidikan dan kehidupan sosial mereka bersama teman-temannya di sekolah. Karena, anak jadi tahu bahwa orang tua tidak akan membantu mereka menyelesaikan tugas harian. Mereka sendiri yang harus menyelesaikan tugas sekolahnya.
Tidak seperti di Indonesia, dimana orang tua masih merasa anak-anak belum mandiri dan cenderung ingin membantu menyelesaikan tugas yang diberikan sekolah.
Ya, hal inilah yang perlu ditekankan bahwa sikap mandiri, disiplin dan mengambil inisiatif dan eksplorasi dalam tugas sendiri akan membantu anak-anak menjadi lebih cepat bertumbuh dan menemukan gaya belajar yang cocok dengan kepribadian mereka. Kelak, hal inilah yang akan membawa kesuksesan pada anak-anak di masa depan.
Sumber :
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid0EUpBrmgQBoDh6a2yirLMo2RWgEoi7UZ8pL8kfC3C9EMgm7HHqamxHigzutEdUjoal&id=100009998646126
https://money.kompas.com/read/2020/04/01/084848726/self-driving-kunci-kesuksesan-miliarder-dunia
https://www.sonora.id/amp/423275118/patut-ditiru-potret-kemandirian-anak-sejak-usia-dini-melalui-gaya-parenting-budaya-jepang-mari-simak-ulasan-berikut
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung ya ^_^